Mobil pickup tua warna hitam itu, ringkih diamuk waktu. Aspal masih basah sisa hujan semalam, mobil beratapkan terpal itu, mulai beringsut. Membawa para budayawan dan seniman dari kampung yang jauh. Mereka hendak pulang dengan dada yang bergemuruh.
Mereka seperti membawa sebuah piala, padahal tidak. Yang dibawa, rasa bangga karena dihargai. Mobil reot itu, tak mampu menyuarakan kemewahan yang telah mereka tampilkan semalam.
Sehabis hujan kala siang, mereka naik pickup itu, beratap rendah lalu dilepas oleh Nan Jombang Grup. Satu tikungan saja, rombongan kecil itu sudah lenyap, yang tersisa kini kelalahan tuan rumah. Mereka akan berjalan jauh ke Airpura, Nagari Inderarapura, Pesisir Selatan, terpaut 130 Km dari Padang, karena kondisi jalan maka jarak iu akan ditempuh sekitar 6 jam. Secara kultural, mereka bagian dari Kerajaan Indrapura.
Seniman-seniman desa tak tercatat dalam agenda kebudayaan ini, adalah orang-orang apa adanya. berkesenian, ya berkesenian. Dengan apa adanya dan selalu dihadirkan untuk mereka dan dari mereka. Kali ini, oleh Pusat Kebudayaan Minangkabau (PKM) dan Nan Jombang Grup diundang ke Ladang Tari Nan Jombang, di Balai Baru Padang. Pimpinan sanggar Nan Jombang Ery Mefri, selalu rutin punya agenda kesenian sejak lama. Mereka datang ke Padang pada Jumat (17/12).
Sehabis pertunjukkan, mereka tak bisa pulang, karena hujan amat lebat dan jalan yang puus ke Pessel. Tidur di Ladang Tari Nan Jombang dan siang mereka berkemas. Memulai Sabtu (18/12) dengan membawa sebuah kesenangan ke selatan sana. Pada Sabu pagi, mereka telah bangun, membereskan kasur-kasur, melipat selimut, menyapu semua sampah. lalu ke 16 orang rombongan itu menyantap lontong pagi nan nikmat. Tambah terasa se Runyan, kalah masing-masing menikmati secangkir kopi buatan istri Ery Mefri.
Datang dengan pickup atau pikap bak terbuka untuk misi kebudayaan, adalah ironis dan adalah luka. Tapi, apa hendak dikata. Susun paku, penari dan beberapa lelaki berusia 50an dan 60an tahun, tak apa. Ini sebuah perjalanan yang tak panjang benar, tapi akan jadi sejarah. Kata mereka, inilah untuk pertama kali diundang ke ibukota. Kisah-kisah semacam ini, kadang mendebarkan.
Beberapa Tari
Pada seri ketiga ini, seperti disampaikan oleh Sekum PKM, Yulizal Yunus akan ditampilkan tari Rantak Kudo dari Airpura. Selain itu ada tiga tarian langka lainnya yang tampil malam itu, termasuk Tari Sikambang Manih dan Tari Kain.
Tarian ditampilkan oleh Sanggar Puti Gubalo Intan pimpinan Junaidi Can. Rantak Kudo atau Sikambang Manih adalah tarian yang dimainkan enam penari perempuan dengan diiringi pesinden yang mengantar cerita. Hentakan kaki para penari memang terdengar seperti telapak kuda yang berderam-deram meningkahi suara rebana dan gendang yang ditabuh pesinden.
Tabuhan rebana dan gendang yang pelan tapi melecut jantung bak lagu blues dimainkan. Terasa ada nuansa magisnya.
Seperti lazimnya tarian tua dasar geraknya banyak mengambil gerakan silat, Tari Sikambang Manih ini juga seperti itu.
Begitu juga dengan Tari Kain.
Selain tari, tentu pakaian mereka. Pakaian itu, baru, warna kuning dan merah mencolok. Tampil paripurna, seperti pada sebuah festival. Pertunjukkan itu juga live di youtube dan Padang TV.
Sehabis pertunjukkan, menemani malam, para penari dan pimpinan sanggar istrihat di Nan Jombang. Duduk sebari menaikkan satu atau dua kaki ke bangku, menyeruput kopi, khas lapau-lapau Minangkabau di nagari.
Malam telah menukik tajam pada rumpun kegelapan, mereka tidur mengurai lelah. Dan Sabtu, setelah Shalat Zuhur, ketika aspal masih basah, orang-orang hebat ini, telah pamit. Monil mereka yang beratap terbuka itu, oleh Nan Jombang diberi terpal warna biru, dipasangi kayu-kayu sebagai kasau, mana tahu nanti hujan turun lagi.
Mobil milik tetangga yang dipinjam itu, melaju sendirian, sebab mobil rancak-rancak milik camat dan sultan mereka telah pergi dari semalam. Juga mobil para tamu dan pengurus PKM. Orang-orang biasa ini hendak pulang, mereka pergi diiringi lambaian. “Caiak-caliak juo kami yo,” kata mereka. (Singgalang/KJ)
Tulis Komentar