Minangkabau Itu Adalah Elang, Maka Terbang Tinggilah!
Minangkabau Itu Adalah Elang, Maka Terbang Tinggilah!

Oleh: H. Irman Gusman D. Nan Labiah

Baru saja kita melewati bulan Mei yang lalu sebagai hari Kebangkitan Nasional dari sini sampai bulan agustus dan kita berada di bulan Pancasila dan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa. Apa artinya ini semua bagi pembangunan kebudayaan Minangkabau sebagai bagian dari kebudayaan nasional?

Saya ingin bicara tentang tiga hal yang menyangkut kebudayaan Minangkabau yang kita cintai. 

Pertama: Penguatan identitas kebudayaan Minangkabau sebagai bagian dari kebudayaan nasional Indonesia. 

Kedua: Usaha-usaha untuk memajukan, merayakan, dan memartabatkan kebudayaan Minangkabau sebagai modal dasar pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat Sumatera Barat. 

Dan ketiga: Sumbangan kebudayaan Minangkabau untuk bangsa dan negara Indonesia.

Apabila ketiga hal di atas yaitu penguatan identitas, usaha memajukan dan sumbangan kebudayaan Minangkabau itu saya rangkumkan ke dalam satu bingkai pemikiran maka intisari dari pemikiran yang mau saya kemukakan adalah bagaimana caranya agar kebudayaan Minangkabau dapat semakin mewarnai kebudayaan nasional melalui peran serta dari sumberdaya manusia (SDM) asal Minang dalam membangun bangsa sambil tetap melestarikan nilai-nilai luhur budaya Minang di berbagai aspek kehidupan.

Kalau berbicara tentang fondasi kebudayaan Minangkabau, tentu tak dapat kita melepaskan diri dari falsafah budaya kita bahwa Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah – syarak mangato adat mamakai. Sejauh mana falsafah adat Minangkabau ini sudah mewarnai kehidupan bangsa. Dengan perkataan lain, sejauh apa dampak dari implementasi falsafah adat ini dijadikan acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Tentu terjemahannya dalam kehidupan sehari-hari adalah terbangun nya karakter yang terpuji, akhlak yang mulia , mempunyai integritras diri, kedermawanan sosial, kesalehan hidup, intelektualitas, keteladanan, serta kemanfaatan bagi sesama warga bangsa kita. Karena sesungguhnya nilai-nilai itulah yang diamanatkan oleh ajaran agama serta adat istiadat Minangkabau. 

Bahkan dengan menekankan pentingnya falsafah adat ini kita dituntut menjadi rahmat bagi seisi alam semesta ini. Artinya orang Minang memang ditakdirkan untuk berdiri di depan untuk mencontohkan hal-hal baik, sikap dan perilaku serta karakter mulia dan pemikiran-pemikiran kreatif dan inovatif yang bermanfaat bagi kemaslahatan bangsa dan negara kita. Sebab sejak dahulu kala pun orang Minang berdiri di garda terdepan dalam membangun negara-bangsa ini. 

Fakta tak terbantahkan di negeri ini adalah bahwa sejak zaman penjajahan hingga kemerdekaan, bahkan sampai sekarang, orang Minang memainkan peran yang sangat penting dalam pembangunan negara dan bangsa kita. Sejarah mencatat nama-nama besar asal Minangkabau yang kita ketahui bersama dan diakui masyarakat Indonesia hingga hari ini. 

Tapi pada kesempatan ini saya ingin kita semua menyadari bahwa nama-nama besar itu belum ada penggantinya di zaman sekarang. Kita memerlukan Hatta-Hatta yang baru, Hamka-Hamka yang baru, Natsir-Natsir yang baru, Sutan Sjahrir-Sutan Sjahrir yang baru, Agus Salim-Agus Salim yang baru . Demikian pula regenerasi ketokohan dari para pemikir dan pemimpin teladan lainnya yang tak sempat saya sebutkan satu per satu pada kesempatan ini tetapi pemikiran dan jejak keteladanannya terpatri secara abadi di kanvas sejarah bangsa kita.

Ketokohan dan kualitas pemikiran mereka serta kontribusi nyata yang mereka berikan bagi pembangunan bangsa ini belum bisa ditandingi oleh kita di masa sekarang, sekalipun kita hidup di zaman yang lebih moderen dari zaman dimana mereka hidup. Meskipun kondisi kehidupan mereka tidak senyaman yang kita alami di masa sekarang. Patutlah sebetulnya kita menundukkan kepala dan dengan penuh rasa hormat dan kagum mengakui kelebihan dari generasi Minangkabau di masa silam, yang jasa-jasanya kita nikmati di masa sekarang.

Jika kita merenungkan tentang apa yang dilakukan para tokoh Minang di masa silam dan membandingkannya dengan apa yang kita lakukan di masa sekarang, maka dapat dikatakan bahwa orang Minang di masa sekarang ini sebetulnya ibarat elang yang selama ini hanya menyadari dirinya sebagai ayam, padahal dirinya adalah elang yang mampu terbang tinggi di atas awan.

Selalu saya berikan perumpamaan: ada seekor anak elang yang ditetaskan oleh induk ayam dan sejak menetas ia bergaul dengan saudara-saudaranya yang adalah anak-anak ayam. Karena bergaul dengan ayam yang tak dapat terbang tinggi, anak elang ini tak pernah menyadari bahwa dia memiliki kemampuan untuk terbang tinggi.

Suatu ketika waktu ia dan saudara-saudara ayamnya berada di pinggir pantai, dia melihat ada seekor unggas yang sama persis dengan dirinya sedang terbang tinggi. Ia mulai bertanya di dalam hati: bentuk tubuhku sama persis dengan unggas yang sedang terbang tinggi itu, tetapi kenapa aku tak bisa naik setinggi dia? Awalnya dia tidak percaya bahwa dirinya adalah elang dan bisa terbang setinggi elang yang sedang melayang di langit. Tapi kemudian dia mencoba menggerak-gerakkan sayapnya dan akhirnya dia mampu melesat tinggi, karena sejatinya dirinya bukanlah ayam melainkan elang.  

Elang yang merasa diri sebagai ayam itu adalah kita orang Minang di masa sekarang, yang sebetulnya sangat mampu terbang tinggi bahkan sebagai rajanya elang alias Burung Garuda, tetapi karena lingkungan pikiran, wawasan, dan pergaulan kita membatasi kreativitas dan kepercayaan diri kita, maka meskipun sebagai bangsa elang bahkan sebagai Burung Garuda, kita hanya menjadi ayam tanpa menyadari potensi budaya kita yang sesungguhnya.

Inilah tantangan terbesar dalam pengembangan kebudayaan Minangkabau di masa sekarang. Padahal, ironisnya, sebetulnya globalisasi itu dimulai dari ranah Minangkabau. Karena dari ribuan suku bangsa di muka bumi ini, sepanjang pengetahuan saya, hanya orang Minang yang mempunyai filosofi khusus tentang merantau dan berbaur dengan komunitas internasional, yaitu: Dimana bumi di pijak, di situ langit dijunjung.

Kemampuan beradaptasi yang sangat baik membuat orang Minang diterima baik oleh semua suku bangsa di Tanah Air Indonesia bahkan di semua negara di bumi. Tapi pada saat bersamaan solidaritasnya yang sedemikian tinggi itu membuat orang Minang tidak mengeksklusifkan dirinya ketika berada di rantau orang. Mungkin ini yang menerangkan mengapa tidak ada Kampung Minang di manapun meskipun di sana-sini ada banyak orang Minang. Sama seperti di Semenanjung Malaya, meskipun William Marsden dalam bukunya Sejarah Sumatera jelas menyebut bahwa Minangkabau adalah kerajaan terbesar di Pulau Sumatera. 

Tome Pires, seorang pengelana yang pernah menjadi penasihat Portugis di Malaka dan Duta Besar Portugis untuk Tiongkok, dalam buku Suma Oriental mencatat bahwa pengaruh Minangkabau mencakup lebih kurang dua pertiga pesisir Pulau Sumatera, dari Batubara di pantai Selat Malaka, hingga ke Lampung di Selatan sampai ke Barus dan Moelaboh di pantai barat pesisir Samudra Hindia. Sehingga dalam peta Pulau Sumatera yang ia buat, nama Manacabo atau Minangkabau ditulis sama besarnya dengan tulisan nama Pulau Sumatera itu sendiri.

Sejak berabad-abad silam orang Minang telah merantau ke berbagai tempat di Nusantara ini, bahkan sampai ke Semenanjung Malaya, Brunei, Thailand Selatan, bahkan ke Filipina. Para pengelana awal bangsa Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara mencatat bahwa orang Minangkabau sudah menetap di Semenanjung Malaysia jauh sebelum bangsa kulit putih datang ke sana. Sebuah laporan pertengahan Abad ke-19 menyebutkan tentang

“The Minangkabau State in Malay Peninsula”  atau Negara Minangkabau di Semenanjung Malaya. 

Negeri itulah yang kemudian kita kenal sebagai Negeri Sembilan, salah satu negeri atau negara bagian dalam Kerajaan Federal Malaysia yang sekitar 60 persen penduduknya adalah keturunan Minangkabau. Negeri Sembilan sampai sekarang juga masih mengamalkan “Adat Perpatih”, kata lain untuk adat Minangkabau, sebagai dasar kehidupan sosial mereka.

Selain itu, sejarah juga mencatat nama Datuk Jenaton sebagai perintis awal pemukiman di Pulau Pinang, Malaysia. Generasi keturunannya kemudian menjadi tokoh-tokoh yang yang mempunyai peran penting dalam kemerdekaan dan pembangunan negara Malaysia dan Singapura. Yosof Ishak, presiden pertama Republik Singapura, adalah generasi kelima keturunan Datuk Jenaton, peneroka dan pendiri Batu Uban, pemukiman pertama di Pulau Pinang.

Di Indonesia sendiri, juga banyak lahir para pelopor, pejuang, dan tokoh-tokoh yang turut berjuang untuk kemerdekaan bangsa, dan turut memimpin daerah-daerah tersebut dalam rangka membangun untuk mengisi kemerdekaan tersebut. Tokoh-tokoh asal

Minang pernah menjadi gubernur di Maluku, Sulawesi Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jambi dan Bengkulu.

Bukan hanya di pemerintahan, banyak juga tokoh-tokoh asal Minang yang dipilih melalui pemilihan umum oleh masyarakat di berbagai provinsi sebagai wakil rakyat di DPR maupun DPD. Dari Pemilu pertama 1955, ada sejumlah tokoh asal Minang yang duduk di Parlemen maupun Konstituante karena dipilih oleh masyarakat setempat. Misalnya

Buya Hamka yang menjadi anggota Konstituante dari Jawa Tengah, Anwar Bey dari Jawa Timur, Mohammad Isa Ansyari dari Jawa Barat, serta Mohammad Natsir yang terpilih dari dapil Jakarta Raya.

Tradisi itu masih berlanjut sampai sekarang, sehingga putra asal Minang yang duduk di Senayan (DPR dan DPD) karena terpilih dari provinsi lain jumlahnya sama banyak bahkan melebihi jumlah anggota DPR dan DPD yang terpilih dari Sumatera Barat sendiri. Menurut data terbaru, hasil Pemilu 2019, ada 14 anggota DPR RI  berdarah Minang mewakili daerah lain, yang  duduk di Parlemen – sama dengan jumlah anggota DPR RI dari Sumatera Barat sendiri.

Meskipun gemar merantau, tetapi orang Minang juga dikenal mengidap semacam “penyakit” yang mungkin boleh disebut romantisme kampung halaman. Ada ungkapan yang mengatakan, sejauh-jauh terbang bangau, kembalinya ke kubangan jua. Artinya, sejauh-jauh merantau, rasa cinta mereka tertambat di kampung halaman jua. Ungkapan lain mengatakan, hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, namun kampung halaman takkan pernah terlupakan.

Rasa cinta dan kepedulian kepada kampung halaman ini mereka tunjukkan melalui berbagai organisasi dan paguyuban yang ada di mana mana, baik di dalam maupun di luar negeri. Sebutlah misalnya Ikatan Keluarga Minang (IKM) yang jaringannya tersebar di seluruh Indonesia, atau Forum Minang Maimbau yang berisikan tokohtokoh terkemuka Minangkabau di ranah maupun di rantau. 

Beberapa tahun lalu, telah hadir Jaringan Diaspora Minangkabau Global atau Minangkabau Diaspora Network-Global yang sangat aktif dengan penggeraknya antara lain Dino Patti Djalal, Prof. Fasli Djalal, dan Burmalis Ilyas, dengan jaringan yang luas hingga ke Malaysia, Amerika, Australia, Eropa, hingga Afrika. Orang Minang juga-mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat Dr. Dino Patti Djalal--yang mendirikan Indonesian Diaspora Network (IDN) yang menghimpun orang-orang hebat asal Indonesia yang bekerja di berbagai negara untuk memberikan kontribusi pemikiran dan konsepkonsep terobosan bagi kemajuan bangsa dan negara kita.

Di Malaysia sendiri telah lama berdiri Jaringan Masyarakat Minangkabau Malaysia (JM3) dengan tokoh utamanya antara lain Tan Sri Dr. Rais Yatim yang kini menjabat Senator dan Ketua Dewan Negara Malaysia, dan Prof. Dr. Firdaus Abdullah yang juga pernah menjadi Senator Malaysia. Tentu sangat banyak lagi organinasi dan komunitas Minangkabau di seluruh dunia yang peduli dengan kemajuan daerah Sumatera Barat sebagai daerah inti kebudayaan Minangkabau dan kampung halaman bagi semua orang Minang.

Tentu kita bersyukur bahwa generasi Minang terdahulu telah meletakkan fondasi kebudayaan termasuk di bidang pendidikan, sosial-politik dan ekonomi kerakyatan melalui koperasi, untuk membangun bangsa ini sehingga orang Minang sekarang berkiprah di berbagai negara di dunia. Tetapi dimanapun kita berada, keberhasilan pembangunan kebudayaan Minangkabau di masa depan tergantung pada apakah kita mampu terbang keluar dari cara berpikir sebagai ayam dan menjadi elang, bahkan menjadi rajanya elang yaitu Burung Garuda. Sebab para tokoh Minang yang dahulu ikut mendirikan negara ini sudah tepat sekali memilih Burung Garuda sebagai lambang negara, agar kita yang hidup di masa kini dan generasi penerus di masa depan terbang tinggi sejajar bahkan melebihi bangsa-bangsa lain di dunia.

Dari sini saya ingin mengatakan, bahwa kebudayaan Minangkabau dan seluruh masyarakat pendukungnya, di ranah maupun di rantau, adalah potensi besar bagi kemajuan daerah Sumatera Barat dan bagi kebudayaan Minangkabau, dan dapat pula memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi kemajuan bangsa Indonesia. Namun demikian diperlukan semacam wadah pengembangan berbagai aspek kebudayaan Minangkabau yang disesuaikan dengan kemajuan sains dan teknologi yang sekarang mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat. Agar falsafah dan nilai-nilai budaya Minang tetap kompatibel dengan kemajuan zaman bahkan dapat menjadi jembatan untuk meraih hal-hal baik yang dibawa oleh arus globalisasi demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian budaya Minangkabau terus ke depan. 

Dalam hal ini, Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau yang dilewakan pada 2 Juni 2021 ini, siap turut serta dan bergandeng tangan dengan seluruh unsur pelaku  dan pemangku kepentingan kebudayaan Minangkabau, menjadi mitra bagi pemerintah daerah dan lembaga-lembaga pemerintahan umumnya, untuk memajukan, merayakan, dan memartabatkan kebudayaan Minangkabau bagi kemajuan dan kesejahteraan daerah dan masyarakat Sumatera Barat khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

Saya mendapat kabar, bahwa Gubernur kita yang baru, Buya H. Mahyeldi Ansharullah sedang menyusun  Dewan Kebudayaan Sumatera Barat. Ini membawa harapan baru, di mana semua pelaku kebudayaan Minangkabau akan dapat bekerjasama dan saling bersinergi sehingga kebudayaan Minangkabau dapat kita fungsikan dan gerakkan sebagai modal dasar dan modal sosial untuk mencapai kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat Sumatera Barat di masa-masa yang akan datang.

Elangnya Indonesia

Minangkabau itu Elang! Maka terbang tinggilah.

Maka, izinkan saya menyinggung sedikit peranan dan sumbangan kebudayaan dan tokoh-tokoh Minangkabau dalam menggagas, memperjuangkan, dan mendirikan bangsa dan negara Indonesia. Robert Edward Elson dalam buku The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan(2008) menyebutkan bahwa istilah “Bangsa

Indonesia” dalam pengertian politik dan konteks kebangsaan sebagai pengganti kata inlander untuk bumiputra Hindia Belanda, pertama kali diperkenalkan oleh Baginda Dahlan Abdullah, putra Minangkabau yang menjabat Ketua Perhimpunan Hindia di Negeri Belanda. Istilah itu pertama kali ia sebut dalam pidatonya yang berjudul “Wij Indonesier”  (Kami Bangsa Indonesia) dalam Kongres Persyarikatan Pelajar-Pelajar Indonesia di Universitas Leiden pada bulan November 1918.

Sepuluh tahun kemudian (1928) istilah “Bangsa Indonesia” dikukuhkan dalam rumusan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang perumus utamanya adalah Mr. Muhammad Yamin, juga seorang putra Minangkabau. Lalu, 17 tahun kemudian, frasa “Kami Bangsa Indonesia” menjadi pernyataan pembuka dalam naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditandatangani Soekarno dan Hatta 17 Agustus 1945.

Sejarah mencatat, bahwa putra-putra Minangkabau telah memberikan andil yang besar dalam perintisan dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia dari dulu hingga kini. Minangkabau berhasil memberikan sumbangannya tak lain karena kebudayaannya yang mendorong masyarakatnya untuk terus melakukan usaha mencapai kemajuan melalui kesempatan pendidikan yang tersedia atau yang mereka ciptakan sendiri. Pendidikan ini pulalah yang mendorong kemajuan orang Minang di masa lalu, sehingga banyak menghasilkan kaum terpelajar yang sangat dibutuhkan pada masa itu.

Hasil dari pendidikan itu pulalah yang membuat peran orang Minang dalam mendirikan dan membangun negara-bangsa ini pernah begitu menonjol. Sebagaimana ditulis seorang peneliti asing, Elizabeth E. Graves dalam bukunya “Asal-usul Elite Minangkabau Modern” menuliskan: Saat proklamasi kemerdekaan, warga Indonesia yang berpendidikan, yang memiliki keahlian profesional dan kemampuan teknis untuk mengelola negeri yang baru merdeka itu masih sangat sedikit jumlahnya. Kebanyakan dari jumlah yang sedikit itu, berasal dari Minangkabau, yaitu suatu kelompok suku yang mendiami daerah Sumatera Barat sekarang. Jumlah orang Minangkabau di lingkaran elite politik, intelektual dan profesional Republik yang baru merdeka ini amat tidak sepadan dengan jumlah penduduknya yang hanya 3% dari total penduduk Indonesia. 

Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh paling penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang. Satu dari dua Proklamator Kemerdekaan Indonesia –Soekarno dan Hatta—adalah putra Minang. Demikian pula, dari “Empat Serangkai” pendiri Republik Indonesia –Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka— tiga di antaranya adalah putra Minang.

Setelah kemerdekaan, seorang putra Minang, yaitu Bung Hatta, duduk sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri, sedangkan  tiga orang lagi pernah menjabat sebagai Perdana Menteri, yaitu Sutan Sjahrir, Abdul Halim dan Muhammad Natsir, dan satu orang pernah menjadi Penjabat Presiden RI yakni Mr. Assaat. Dalam kurun waktu itu dan sesudahnya, ada pula beberapa putra Minang yang pernah menjadi pimpinan Parlemen, yaitu Mr. Assaat sebagai Ketua KNIP, Zainal Abidin Ahmad sebagai Wakil Ketua Parlemen hasil Pemilu 1955, serta Chairul Saleh yang pernah menjabat Ketua MPRS.

Kalau belakangan dan dewasa ini para pemimpin dan elite kita sering bicara tentang “NKRI adalah harga mati”, tentu kita harus melihat kepada sejarah: tokoh-tokoh dan para pemimpin nasional asal Minang juga punya peran besar dalam mendirikan dan meletakkan dasar-dasar NKRI tersebut.

Pada bulan Desember 1949 Indonesia menerima penyerahan kedaulatan setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat atau RIS. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat Indonesia, karena jelas mengingkari eksistensi Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 dalam bentuk Negara Kesatuan.

Dari dokumen sejarah, di antaranya tercatat dalam Lembaga Negara RI, adalah berkat peranan para tokoh bangsa asal Minangkabau juga, akhirnya RIS dapat dikembalikan menjadi Negara Kesatuan. Adalah Kabinet RI Yogyakarta di bawah Penjabat Presiden Mr. Assaat dan Perdana Menteri Abdul Halim – keduanya adalah orang Minang – yang menegaskan “Meneruskan Negara Kesatuan” sebagai program pertama kabinetnya di awal tahun 1950. Lalu pada 3 April 1950 Mohammad Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi di Parlemen RI mencetuskan Mosi Integral, didukung oleh semua ketua fraksi di DPR RS, yang intinya menuntut kembali ke Negara Kesatuan alias RI.

Mosi Integral Natsir kemudian disambut baik oleh Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta dan Perdana RI Abdul Halim sebagai sesuatu tuntutan yang harus dilaksanakan sesuai dengan keinginan rakyat Indonesia. Tidak menunggu waktu lama, pada tanggal 23 Mei 1950, Piagam Persetujuan Pemerintah RIS – Pemerintah RI ditanda-tangani oleh Mohammad Hatta dan Abdul Halim. Isinya adalah kesepakatan “membubarkan” Negara RIS dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Setelah rentetan peristiwa yang dimotori oleh putra-putra Minang itulah baru  pada tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno meresmikan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dua pekan kemudian, Presiden memberi mandat kepada Mohammad Natsir membentuk kabinet. Maka pada tanggal 6 September 1950 Mohammad Natsir dilantik sebagai Perdana Menteri NKRI yang pertama.

Kita perlu mengungkap kisah ini, bukanlah dengan maksud sebagai ungkapan romantisme sempit dan kebanggaan sejarah tanpa nilai. Melainkan untuk dapat digunakan sebagai motivasi dan inspirasi bagi kita semua, bahwa kebudayaan Minangkabau dan orang Minangkabau harus selalu peduli dan siap memberikan kontribusinya dalam setiap usaha perbaikan dan kemajuan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Tanggal 30 Mei 2021 yang baru lewat, kita membaca sebuah artikel utama di halaman opini Harian Kompasberjudul “Lumpuhnya Pancasila” yang ditulis oleh tokoh Minang Buya Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif. Intinya Buya Syafii mengatakan bahwa sejak dirumuskan hingga saat ini Pancasila baru ideal sebagai “etalase politik”, tetapi lumpuh karena tidak diimplementasikan sepenuhnya dalam praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan di negara kita.

Pancasila yang sudah kita sepakati sebagai ideologi negara, dasar dan pedoman hidup dalam berperilaku, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga ikut dirumuskan oleh para tokoh bangsa asal Minangkabau. Apapun yang terjadi dengan Pancasila, termasuk kenyataan “memilukan” yang dikemukakan tokoh kita Buya Syafii Maarif, tentulah ikut menjadi tanggung jawab kita bersama untuk meluruskan dan mengembalikannya ke jalan yang benar dan ideal sesuai yang dimaksudkan para founding fathers kita.

Hampir 90 tahun silam, jauh sebelum Indonesia merdeka, Bapak Bangsa dan Proklamator RI, Bung Hatta, sudah menegaskan dan mengingatkan dalam tulisannya di Majalah “Kedaulatan Rakjat”, bahwa negara Indonesia yang akan kita dirikan adalah sebuah negara demokrasi yang bersumber dan berakar dalam budaya masyarakat kita sendiri. Bila kita melaksanakan demokrasi dengan hanya menyalin dari konsep demokrasi yang digagas oleh Montesqueu dan Rousseou, maka nanti demokrasi atau politik kita akan dikuasai oleh pemilik kapital.

Kita meyakini, salah satu daerah dan masyarakat yang sudah memiliki budaya dan akar demokrasi sejak lama adalah Sumatera Barat atau Minangkabau. Saya pernah punya pengalaman mendampingi kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Sumatera Barat bulan Januari 2006, di mana Presiden dan rombongan tinggal di Bukittinggi selama lima hari.

Karena kunjungan itu tidak lazim –biasanya presiden hanya berkunjung ke satu daerah satu atau dua hari saja– maka saya pun bertanya. Kenapa kunjungan Bapak Presiden kali ini begitu lama. Apa jawaban Pak SBY? “Pak Irman, kita sekarang sedang membangun demokrasi. Demokrasi tidak cukup hanya sistem, tetapi juga budayanya. Dalam pandangan saya, salah satu daerah yang sudah memiliki budaya demokrasi sejak lama adalah Sumatera Barat atau Minangkabau. Jadi saya ingin mengetahuinya lebih dekat,” kata Presiden SBY.

Lihat, sekarang apa yang terjadi? Bagaimana demokrasi kita berjalan? Pancasila baru sebatas menjadi “etalase politik,” kata Buya Syafii Maarif. Sebanyak 92 persen calon kepala daerah dibiayai oleh cukong, kata Menko Polhukam Mahfud MD. Untuk menjadi anggota legislatif diperlukan modal materi yang besar, sebagian juga disokong oleh para tauke. Lalu setelah duduk, akhirnya harus membayar utang budi politik kepada penyandang dana. Jadi benarlah yang diingatkan Bung Hatta, demokrasi dan politik kita dikuasai oleh pemilik kapital alias cukong. Yang luar biasa adalah bahwa bahkan semenjak puluhan tahun silam, Bung Hatta sudah bisa membaca gejala tentang apa yang akan terjadi di bangsa ini dan sekarang menjadi kenyataan.

Peringatan Bung Hatta yang kini menjadi kenyataan itu membuktikan bahwa tantangan ke depan akan semakin berat dan beragam dalam membangun kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang lebih baik. Rasanya, inilah saatnya para tokoh, intelektual, budayawan, dan kaum cendekiawan Minangkabau turun gunung dan ikut urun rebug, turut serta memberikan gagasan serta pemikiran terobosan,  khususnya di masa pandemi Covid-19 sekarang ini dimana krisis kesehatan ini telah melahirkan krisis-krisis lainnya di banyak bidang. 

Saya percaya bahwa kalau dulu orang Minang mampu berperan akrif dalam membangun negara ini, maka sekarang dan di masa depan pun orang Minang mampu memberikan kontribusi pemikiran dan konsep-konsep terobosan demi mengatasi berbagai krisis yang kini melanda negara dan bangsa kita. Dan saya ingin mengakhiri orasi ini dengan mengajak kita semua untuk terbang tinggi seperti elang dan Burung Garuda, sebab kita mempunyai potensi dan kapasitas untuk terbang tinggi asalkan kita membuka diri dan melangkah out of the box sambil menghimpun kemampuan kita semua untuk memberikan yang terbaik bagi pengembangan kebudayaan Minangkabau serta peningkatan kesejahteraan rakyat di Sumatera Barat dan di seluruh Tanah Air Indonesia.

 Padang, 2 Juni 2021

(Tulisan ini disampaikan dalam Orasi Kebudayaan saat peluncuran Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau di Ladang Tari Nan Jombang, Padang, Rabu 2 Juni 2021, penulis adalah Ketua Badan Pembina YPKM)



Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)